
Dan apa yang berkaitan antara keduanya?
Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya?
Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut
Soe Hok Gie
dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktifis yang sangat
aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie:
Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman oleh LP3ES diterbitkan pada
tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan
juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting
dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat
menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442mdpl.
Kemudian
pada 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian
ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676 mdpl. Banyak sekali
rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun
menjelaskan kepada rekan-rekannya tesebut :
“Kami
jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Sebelum
berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia
menuliskan catatannya :
“Saya tak
tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian
Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu
ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru.
Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya
kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu
cepat.”
Dari
beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie
yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut
beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana sore
hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru
(puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang
awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh
pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk
hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya
khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di
tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan
tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan
berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa.
Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada
cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke
perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala
kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di
perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara),
bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie,
dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan
beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di
Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang
senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan
tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah
waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik,
mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman,
Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa
saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia
melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung,
tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi
keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore
hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil
menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris
membekukan sendi tulang.
Baru
keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh
sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya
sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G.
Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan
halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir
birunya. Mereka semua diam dan sedih.