Slide

Archive for Juni 2012

Nenek Moyang Manusia Datang dari Asia

enek moyang monyet, kera, dan manusia kemungkinan berasal dari Asia, bukan dari Afrika seperti yang selama ini diyakini oleh sejumlah ilmuwan. Teori baru ini didukung oleh fosil yang baru ditemukan di Asia Tenggara.

Asal-usul antropoid, kelompok simian atau "primata tingkat tinggi," yang beranggotakan monyet, kera, dan manusia selama ini masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Meski fosil yang digali di Mesir menunjukkan bahwa Afrika adalah tanah kelahiran antropoid, tulang elulang lain yang ditemukan dalam 15 tahun terakhir menguak kemungkinan bahwa Asia adalah tempat kelahiran mereka.

Teori ini menggeser teori sebelumnya yang menyatakan nenek moyang manusia berasal dari Afrika. Teori baru ini diungkapkan oleh tim ahli palaeontologi, setelah mereka menemukan fosil gigi Afrasia djijidae di Myanmar.

Bentuk fosil gigi antropoid ini mirip fosil Afrotarsius libycus, yang ditemukan di Libya, sehingga menjadi penghubung rantai evolusi yang hilang antara Afrika dan Asia. Bentuk gigi kedua spesies ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemakan serangga.

Kemiripan antara Afrasia dan Afrotarsius melahirkan gagasan bahwa antropoid bermigrasi dari Asia dan membuat kolonisasi di Afrika.  

"Afrasia tidak hanya membantu menutup kasus tentang evolusi pertama antropoid di Asia, tapi juga mengatakan kepada kita bahwa nenek moyang pertama manusia justru berjalan ke Afrika," kata Chris Beard, paleontolog, di Carnegie Museum of Natural History, Amerika Serikat.

Namun jangan dibayangkan bentuk leluhur manusia ini seperti hominid pada umumnya. Karena memang tidak demikian. Berdasarkan ukuran fosil gigi yang ditemukan, kedua spesies leluhur manusia itu diperkirakan berukuran 3,5 ons, kira-kira bentuknya seperti tarsius modern.

Tim peneliti menemukan empat fosil gigi yang sama setelah enam tahun melakukan penggalian dan pemilahan berton-ton sedimen di daerah dekat Nyaungpinle di pusat Myanmar. Temuan tim yang melibatkan ilmuwan dari University of Poitiers, Prancis, ini sempat membelah pakar paleontologi di seluruh dunia, khususnya kapan dan bagaimana antropoid Asia awal membuat jalan dari Asia ke Afrika.

Maklum saja, karena perjalanan ke Afrika pada saat itu tidaklah mudah. Sebab, ada sebuah laut yang lebih luas dibanding Laut Mediterania modern—disebut Laut Tethys—memisahkan Asia dan Afrika. Sementara penemuan fosil Afrasia tidak banyak membantu mereka memecahkan misteri rute awal antropoid menuju benua Hitam. "Hal ini menunjukkan kolonisasi terjadi relatif baru, hanya sesaat sebelum fosil manusia purba pertama ditemukan dalam catatan fosil Afrika," ujar Beard.

Profesor Jean-Jacques Jaeger dari University of Poitiers mengatakan temuan fosil antropoid Afrasia djijidae di Myanmar menunjukkan salah satu keturunan dari antropoid awal telah membuat kolonisasi di Afrika sekitar 37-38 juta tahun lalu. Namun keragaman antropoid awal lebih banyak diketahui dari situs Libya yang menghasilkan Afrotarsius libycus.

Penemuan ini menjadi terobosan untuk menguak hubungan antara Afrasia djijidae dan Afrotarsius libycus. “Ini merupakan patokan penting untuk penentuan tanggal kolonisasi Afrika oleh antropoid Asia," ujar Jaeger. ”Afrika adalah tempat asal manusia dan Asia adalah tempat kelahiran nenek moyang kita.”


Tempo.CO

Selasa, 12 Juni 2012 by NabiL Nabiila
Leave a comment

Memotret Rasisme di Ukraina

Peluit tanda bahaya rasisme bertiup mendahului pembukaan Euro 2012 di Polandia-Ukraina. Pada 28 Mei lalu, program Panorama di BBC menyiarkan "Stadium of Hate", yang berisi dokumentasi dan bukti praktek rasisme serta anti-Yahudi di stadion-stadion di dua negara tersebut.

Mantan kapten tim nasional Inggris, Sol Campbell, meminta fan Inggris tidak datang ke Ukraina--tempat Inggris berlaga melawan Prancis, Swedia, dan Ukraina di Grup D--untuk menghindari bahaya. Keluarga Theo Walcott, Alex Oxlade-Chamberlain, dan Joleon Lescott--ketiganya berkulit hitam--mematuhi saran itu. Sebaliknya, Jaksa Agung Ukraina Viktor Pshonka menuding laporan itu subyektif. "Tidak ada ancaman di sini," ujarnya seperti dikutip Kyiv Post.

Kepada Tempo, Rabbi Wolpin, pemimpin komunitas Yahudi Orech Chaim di Jalan Shekavitskaya, Kiev, membenarkan adanya rasisme dan anti-Semit di sana. Menurut dia, kebebasan beragama yang dikumandangkan pemerintah Ukraina--negara yang baru merdeka 21 tahun--belum menyentuh akar rumput.

Tahun lalu, sekelompok begundal berencana mengacaukan tradisi umat Yahudi Ukraina--yang berjumlah sekitar 200 ribu orang--nyekar ke makam pendeta mereka di luar Kiev. Rencana para begundal itu gagal setelah polisi mengawal peziarah. Jemaah kelompok Yahudi itu yang tersebar di tiga sinagoge di Kiev beberapa kali tertimpa tindak kekerasan, meski Wolpin tidak bisa memastikan motifnya. Kecenderungan tindak kekerasan lebih tinggi di bagian timur--yang dekat Rusia--seperti Kharkiv dan Donetsk, dibanding Lviv--yang berbatasan dengan Polandia.

"Tapi tidak separah itu," kata pria yang selalu berjubah dan berpeci hitam serta memelihara janggut dan cambang panjang ini. Wolpin, warga New York yang selalu menghabiskan sepekan saban bulan di Kiev, menganggap terdapat perbedaan standar rasisme antara Eropa Timur--yang baru bebas dari komunisme--dan Eropa Barat--yang berabad-abad menganut liberalisme. "Sehingga mereka menganggap di sini sudah seperti Wild Wild West, padahal biasa saja."

Bagi Muhammad Fachri, "biasa-biasa saja" adalah kunci bertahan di Ukraina. Lajang 26 tahun asal Bogor ini menetap di Kiev sejak dua tahun lalu untuk bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jalan Otto Shmidta.

Kupingnya kerap panas mendengar sekelompok pemuda di dekat kantornya yang memanggil "Cina", lalu tertawa. Di mal, penjaga toko sering melempar pandangan sinis, lalu bertanya, "Kamu mau membeli atau cuma lihat-lihat." Sedangkan orang yang sama melayani konsumen kulit putih dengan ramah. Kejadian itu berulang sampai hari ini. "Awalnya marah, tapi ya lama-lama cuekin aja," ujarnya.

Michelle Goldhaber, aktivis anti-diskriminasi di Lviv, mengatakan rasisme memang hidup di Ukraina, tempat di mana pelajar-pelajar kulit hitam dipukuli karena warna kulit mereka dan coretan swastika Nazi terpampang di tembok-tembok di banyak kota. "Tapi selama ini terabaikan, dan, terima kasih untuk Euro, yang membawa masalah ini ke permukaan," ujarnya kepada Kyiv Post.

Goldhaber mengatakan pengunjung dengan kulit berwarna, gay, dan Yahudi mungkin bakal mendapat perlakuan rasisme di Euro, meski dia yakin tidak akan sampai berbentuk kekerasan. Perempuan yang tinggal di Lviv sejak 2005 ini meminta pemerintah Ukraina berhenti menampik tudingan itu dan memberikan pendidikan kesetaraan kepada warganya.

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Obat Malaria Palsu Beredar di Asia Tenggara

Para ilmuwan di Asia Tenggara menemukan lebih dari sepertiga obat malaria itu palsu, dan proporsi yang sama dianalisis di Afrika berada di bawah standar, berdasarkan peringatan dokter pada Selasa.


"Penemuan ini merupakan panggilan untuk melakukan serangkaian intervensi untuk membenahi dan menghilangkan produksi yang buruk dan ilegal dari obat antimalaria," kata Joel Breman dari Fogarty International Center di AS National Institutes of Health (NIH).

Melalui survei dan literatur yang diterbitkan, para peneliti menemukan bahwa di tujuh negara Asia Tenggara, 36 persen dari 1.437 sampel, dari lima kategori obat tersebut adalah palsu.

30 persen dari sampel gagal dalam tes bahan farmasi mereka.

Di 21 negara sub-Sahara, 20 persen lebih dari 2.500 sampel yang diuji dalam enam golongan obat ternyata dipalsukan, dan 35 persen berada di bawah aturan farmasi.

Sub-standar obat adalah masalah utama dalam memerangi malaria, penyakit yang menewaskan 655 ribu orang pada 2010, menurut World Health Organisation (WHO).

Kebanyakan obat palsu atau buruk dan diproduksi adalah turunan dari artemisin, kata studi tersebut.

Itu cukup mengkhawatirkan, karena artemisinin adalah pengobatan yang paling sering digunakan untuk malaria, yang menggantikan obat malaria yang parasit telah menjadi kebal terhadapnya.

Studi ini mengatakan ada banyak penyebab masalah, mulai dari obat dengan resep bukan dari dokter sampai kontrol buruk untuk memantau kualitas obat dan pemalsuan.

"Kualitas obat antimalaria yang buruk sangat mungkin membahayakan kemajuan dan investasi dalam kontrol dan eliminasi malaria yang dikerjakan dalam dekade terakhir," kata Breman. (yg/ml)

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Ini Penyebab Internet Lelet

Tentu Anda pernah mengalami kelambatan atau bahkan gagal dalam mengakses situs web. Tampilan di mesin peramban pada layar komputer, ponsel cerdas, atau komputer tablet Anda terus-menerus menunjukkan ikon loading yang berputar-putar. Ini tandanya perangkat Anda sedang berusaha memuat konten yang hendak disajikan.
Setelah ditunggu beberapa detik, ikon loading masih terus berputar sampai akhirnya berhenti dan muncul keterangan »time-out”. Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk mengakses halaman website sudah melampaui tenggat, sehingga proses loading terpaksa dihentikan.
Jika ini terjadi, kira-kira di mana letak penyebab kelambatan atau kegagalan saat hendak mengunjungi situs tertentu?
Regional Director Compuware untuk wilayah Asia Tenggara, Koh Eng Kiong, mengatakan ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan masalah ini. "Penyakit" itu bisa berasal dari mesin peramban (browser), jaringan Internet, konten atau aplikasi yang hendak dibuka, database, atau server.
»Tidak semua kelambanan dalam mengakses web dipicu dari infrastruktur teknologi informasi,” kata Kiong di Jakarta, Jumat, 8 Juni 2012.
Chief Representative Compuware Indonesia, Dimas Widiaksono, menuturkan beberapa waktu lalu ia pernah gagal mengakses situs salah satu bank swasta di Tanah Air karena salah menggunakan mesin peramban. »Ternyata layanan Internet Banking-nya hanya bisa dijangkau dengan browser Internet Explorer,” ujar dia.
Kelambanan atau kegagalan akses ke situs web, menurut Dimas, juga bisa dipicu lemahnya koneksi jaringan dari penyedia layanan Internet (Internet Service Provider/ISP) atau beratnya bobot aplikasi yang akan dibuka.
Berapa lama "penyakit" di jaringan ini bisa dideteksi? Kiong menjawab, »Bisa sampai 4 sampai 7 hari tergantung pada rumit-tidaknya sistem teknologi informasi yang diterapkan.”
Untuk memangkas waktu dan deteksi masalah lebih tepat, Kiong menawarkan solusi Compuware Application Performance Management (APM). »Platform mampu mendeteksi di titik mana penyebab kelambanan atau kegagalan akses terjadi dalam hitungan jam,” ujarnya.
Dimas menuturkan biasanya diagnosis atas suatu masalah dalam sistem teknologi informasi dimulai dari data center kemudian barulah masuk ke penyedia jaringan Internet. »Kami membalik cara kerja ini,” katanya.
Compuware APM bekerja dari sudut pandang end user atau konsumen. Maksudnya, kata Dimas, platform dapat menelisik "kesulitan" apa yang dialami konsumen kemudian mengidentifikasi masalahnya sampai ke pusat data.
Di Compuware APM, terdapat dua metode deteksi, yakni Gomez dan DynaTrace. Gomez adalah solusi yang diterapkan di dalam cloud dan biasanya dipakai untuk mengetahui waktu respons layanan website.
Sementara DynaTrace merupakan software on premis atau ditanamkan di data center. Peranti lunak ini, menurut Kiong, mampu mendeteksi sampai ke konten apa yang dibuka konsumen dan apakah mereka mengalami kesulitan dalam mengaksesnya.
»Jika ada masalah, software akan mengirimkan alert (peringatan) kepada teknisi dan memberi tahu di mana penyebabnya sampai ke tingkat script programming atau koding,” ujar Kiong.
Beberapa perusahaan di Tanah Air yang telah menggunakan solusi Compuware misalnya Bank Internasional Indonesia, Adira, dan Telkomsel. Adapun perusahaan multinasional yang juga memanfaatkan solusi serupa adalah Yahoo!, Facebook, Google, LinkedIn, dan lainnya.

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Berawal dari Bercak Putih Di Mulut

TEMPO.CO, Jakarta - Para peserta deklarasi anti-merokok di gedung Stovia Jakarta terhenyak. Di layar proyektor di depan mereka tersaji gambar lidah yang sangat tidak biasa. Alat pencecap itu berwarna ungu dan terjulur dengan ruam besar berwarna putih di pinggir dan bagian tengahnya. Itulah gambaran kanker mulut yang disodorkan dokter gigi Zaura Rini Anggraeni, Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia, saat mendeklarasikan Koalisi Profesi Kesehatan Anti-Rokok di gedung Stovia pada Kamis lalu. "Kanker mulut 75 persen berhubungan dengan rokok. Kalangan perokok, risiko terkena kanker mulut dapat meningkat 15 kali lipat," ujar Zaura Rini seusai deklarasi.

Kanker mulut, yakni kanker yang tumbuh di sekitar mulut--bisa di dasar mulut, rongga mulut, maupun lidah--merupakan 2-3 persen dari keseluruhan kasus kanker di dunia. Kanker jenis ini terjadi akibat berkembangnya sel epitel skuamosa yang melapisi jaringan lunak mulut atau selaput lendir mulut secara ganas. Kasus kanker mulut sebagian besar terjadi pada penduduk usia pertengahan dan lanjut usia. Kaum pria lebih rentan terkena kanker ini dibanding perempuan.

Gejala awal kanker mulut bisa berupa lesi atau bercak putih (plak) di mulut, yang dikenal sebagai leuklopakia oral. Selain itu, gejalanya juga bisa berupa sariawan yang tak kunjung sembuh, nyeri pada bibir atau mulut, atau perdarahan di mulut. Memang, sejumlah infeksi juga bisa menimbulkan gejala seperti itu. Walhasil, untuk memastikan, orang yang memiliki gejala serupa itu harus memeriksakan diri ke dokter.

Kanker mulut hanya salah satu dampak negatif dari kebiasaan merokok. Menurut Gus Permana Subita dan Ananda Irmagita, keduanya dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, masih ada bejibun dampak lain dari kebiasaan buruk tersebut, antara lain napas tidak segar, gangguan indra pencecap, lidah berambut, dan infeksi jamur di rongga mulut. Kupasan mereka menjadi salah satu bahasan dalam buku Substitusi Tanaman Tembakau dalam Pengendalian Bahaya Merokok yang dibagikan kepada para peserta deklarasi antirokok pada Kamis itu.

Menurut Gus dan Ananda, banyaknya zat karsinogenik (racun) yang ada dalam asap tembakau dapat merangsang perubahan pada material gen yang ada dalam sel manusia. Mutasi atau perubahan gen pada perokok terjadi pada sel protein p53, yaitu gen yang bertugas menekan tumor. Padahal, protein p53 ini sangat penting dalam mengatur pembentukan proliferasi sel dan memperbaiki kerusakan DNA (asam dioksiribonukleat). Protein p53 dalam sel tertentu yang bermutasi dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel tersebut. Kerusakan inilah yang kemudian menjadi asal-muasal terbentuknya kanker.

Risiko terkena kanker mulut akan bertambah jika perokok tersebut juga mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Diperkirakan, 75-90 persen kasus kanker mulut akibat dari kombinasi merokok dan mengkonsumsi alkohol. Hal itu terjadi, menurut Gus dan Ananda, "boleh jadi karena alkohol melarutkan zat karsinogenik tertentu yang ada dalam asap tembakau."

Selain kanker mulut, perokok rentan terhadap kerusakan gigi. Secara estetika, merokok dapat merusak keindahan gigi. Kebiasaan merokok dapat mengubah warna gigi, mengubah tambalan gigi, serta cepat merusak gigi tiruan. "Makanya, tidak aneh bila banyak yang bilang, ''orang yang merokok giginya lebih kuning dibanding yang merokok''," ujar dokter Hakim Sorimuda Pohan, moderator dalam acara deklarasi KPK Anti-Rokok.

Senin, 04 Juni 2012 by NabiL Nabiila
Leave a comment

Demokrasi Mesir, Dari Toilet ke Twitter Dan Facebook

Demokrasi pada masa kekuasaan Hosni Mubarak tidak mendapat tempat. Masyarakat Mesir tidak ada yang berani menyampaikan perbedaan pendapat. “Satu-satunya tempat paling demokratis adalah toilet umum,” kata Qaris Tadjudin, wartawan Tempo yang meliput di Mesir, dalam diskusi yang digelar @indonesiana soal  ‘Revolusi Media Sosial’ di @atamerica, Pacific Place, Jakarta, Rabu (16/2).
Selama Mubarak berkuasa, kata Qaris, masyarakat tidak ada yang berani menyatakan pendapatnya. Mereka yang tidak mendukung pemerintah, lebih memilih diam dari pada bersuara. Namun, situasi berubah ketika mulai ada media sosial twitter dan Facebook. Terutama menjelang gerakan demonstrasi besar-besaran berlangsung.

Diskusi mulai dilakukan di jejaring sosial, termasuk diskusi untuk membuat gerakan tanggal 25 Januari lalu, yang menjadi awal gerakan turun ke jalan menyerukan agar Mubarak turun. Di laman jejaring sosial, mereka tak lagi merasa takut menyuarakan pendapat, termasuk menyusun gerakan.
“Tidak ada pertemuan. Semua diputuskan di Facebook,” ungkap Qaris, yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir. Gerakan itu tidak ada yang mengorganisir, tidak ada pemimpinnya. Diskusi di jejaring sosial itu dipersatukan oleh hastag (#).
Dalam kesempatan yang sama, pengamat media sosial Enda Nasution, menambahkan, gerakan di Mesir berawal dari diskusi di Facebook mengenai kematian Khaled Mohamed Saeed. Halaman itu dibuat oleh seorang karyawan Google, Wael Ghonim. “Akun itu menjadi embrio gerakan,” katanya.
Berikut ini beberapa catatan twitter tentang acara tersebut:
@qarist: Walau media sosial dianggap berperan dlm aksi demo, tak banyak pengguna Blackberry di Mesir.” | @indonesiana
@enda: Media sosial, terlepas perdebatan di luar, menjadi pendukung revolusi di Mesir.” | #indonesiana
@enda: ketika internet down, maka alarm menyala di netizen bahwa ada sesuatu yg salah di Mesir, dan semua fokus kesana.” | #indonesiana
@ndorokakung: kenapa tekanan revolusi semakin menjadi-jadi ketika internet di blokir?” | #indonesiana
@qarist: Media sosial tak lagi menjadi pendorong utama revolusi, ketika demonstrans mulai bertemu di Tahrir Square.” | #indonesiana
@qarist: Selain media sosial, media lain yang mendorong adalah adanya siaran Al Jazeera via parabola.” | #indonesiana
@qarist: Revolusi di Mesir tak akan terjadi hanya ketika teriak-teriak di internet. Tapi ttp dibutuhkan aksi nyata di Tahrir.” #indonesiana
Aqida Swamurti

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Tuhan Tak Main Facebook

Di Facebook saya mencari Tuhan. Setelah memasukkan kata “Tuhan” di kolom pencarian, muncul sebuah akun. Tapi itu bukan milik-Nya (dengan N kapital), melainkan kepunyaan sebuah band dari Turki. Entah apa arti tuhan dalam bahasa Turki, karena di kamus online saya tak menemukannya.
Kalau pun ada Tuhan di Facebook, itu adalah akun dan  fanpage yang dibuat oleh para penggemar Tuhan. Hal yang sama terjadi di Twitter.
Saya gagal mencari Tuhan di dunia maya.
Mungkin Anda bertanya, kenapa saya iseng mencari Tuhan di jejaring sosial, meski semua orang waras tahu, pencarian itu akan gagal. Keisengan itu muncul karena saya tergelitik sejumlah status (FB, Yahoo! Messenger, BlackBerry Messenger,  dan tweet) dalam bentuk doa.
Kenapa orang berdoa di Facebook dan Twitter, jika Tuhan tak ada di media sosial?
Tergelitik, karena menurut guru agama saya dulu, permohonan kepada Tuhan harus disampaikan dalam hening. Doa adalah dialog pribadi antara kita dan Dia. Tapi, kini, kita melihat begitu banyak doa berseliweran di dunia maya dan bisa dibaca oleh jutaan orang. Mereka mungkin berharap, Tuhan akan membaca status atau tweet itu dan mengabulkannya.
Kenapa tidak?” kata seorang teman yang kerap berdoa di Facebook. “Tuhan Maha Mendengar, Dia pasti juga tahu apa yang kita sampaikan lewat media online.” Benar, tapi apa perlunya? Kenapa tidak disampaikan dengan khidmat dan khusuk? “Soal kekhusukan, itu tergantung niat,” kata teman lainnya. “Kalau kita menulis status atau tweet itu dengan khusuk, apa salahnya?”
Tentu tak salah, tapi jawaban itu tidak memuaskan. Hanya berkelit dan terkesan defensif. Tak puas dengan jawaban-jawaban (yang sepertinya kurang jujur itu), saya memutuskan untuk menganalisis doa-doa tersebut. Dan hasilnya, tidak terlalu mengejutkan.
Sebagian besar doa itu berisi pengumuman. Misalnya, “Terima kasih Tuhan, Kau telah melancarkan urusanku ini.” Meski berbentuk doa, sebenarnya mereka hanya ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia telah berhasil melakukan suatu pekerjaan. Dengan membuat status berbentuk doa, mereka mungkin berharap pengumuan itu tidak terdengar pamer keberhasilan.
Model itu sama dengan model keluh kesah, seperti “Ya Allah, hari ini terasa berat, ringankanlah bebanku.” Dengan doa seperti ini mereka sebenarnya ingin berbagi dengan orang lain. Yang mereka harapkan adalah komentar dari teman-teman: “Sabar ya bu/pak…”
Yang agak aneh sebenarnya adalah menjadikan Tuhan sebagai “sasaran antara” untuk menyentil orang lain. Misalnya, “Tuhan, sadarkanlah dirinya.” Penulis status ini jelas ingin agar orang yang dituju membaca doa itu dan terusik. Biasanya, komentar dari teman-teman mereka akan berbunyi: “Siapa sih dia?” Dan penulis status akan menjawab: “Ada deh…”
Tentu saja, pemilik akun itu sah-sah saja menulis status apa pun. Akun-akun dia, apa hak kita melarangnya? Tapi, saya kok masih percaya, Tuhan lebih mendengar doa yang disampaikan secara lirih dan dalam kesepian. Bukan di media sosial yang berisik.

–Pernah dipublikasikan di U-Mag edisi Januari 2010

-Sumber : TEMPO.interaktif

by NabiL Nabiila
Leave a comment

100 Ilmuan Yang Mengubah Dunia

Sains yang memberi kontribusi besar bagi kehidupan manusia zaman sekarang bukanlah ilmu pengetahuan yang langsung ada seperti saat ini. Sains tumbuh bersama perkembangan kebudayaan manusia. Sains berkembang berkat kerja keras para raksasa yang terus mengajukan pertanyaan dan sekaligus mencari jawabannya, sejak zaman purba hingga sekarang.
Lewat karyanya, Quantum Leaps: 100 Ilmuwan Besar Paling Berpengaruh di Dunia (Ufuk, Maret 2012), Jon Balchin tampaknya ingin menunjukkan bahwa masyarakat masa kini berutang budi kepada mereka yang menempuh jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Balchin memulai dengan gagasan pokok Anaximander, filsuf Yunani yang hidup sekitar 611-547 Sebelum Masehi, dan menutup buku ini dengan sumbangan penting Tim Berners-Lee, orang yang menemukan world wide web. Walaupun tebalnya mencapai 500 halaman, tapi karena Balchin ingin memasukkan 100 nama ilmuwan, maka teks yang kita baca terlampau pendek untuk mengungkapkan besarnya kontribusi mereka. Untuk setiap nama, Balchin menguraikan secara ringkas gagasan-gagasan pokok masing-masing ilmuwan, apa pencapaian mereka, apa warisan mereka bagi manusia, dan sedikit tonggak hidup mereka yang terpenting.
Karena ringkasnya, maka saya hanya memperoleh pemahaman serba sekilas mengenai kontribusi Galileo Galilei, James Watt, ataupun Edwin Hubble. Balchin agaknya memang tidak bermaksud menguraikan dalam teks yang panjang. Pembaca yang ingin memahami sumbangan Galileo lebih jauh, ia harus mencari rujukan lain. Misalnya, karya Dava Sobel yang sangat menawan, Galileo’s Daughter, yang mengisahkan bukan hanya pencarian keilmuan Galileo tapi juga kehidupan pribadinya di tengah intrik kekuasaan.
Upaya Balchin untuk mendudukkan posisi 100 ilmuwan ini patut dihargai. Sayangnya, ia melewatkan periode-periode penting dalam sejarah manusia di saat kontribusi ilmu pengetahuan begitu besar. Setelah menulis sumbangan ilmuwan pada masa purbakala, Balchin meringkus periode seribu tahun dengan memilih hanya empat ilmuwan. Angka ini teramat sedikit untuk periode yang demikian panjang dan terlalu sedikit bila dibandingkan jumlah ilmuwan yang ia pilih untuk mewakili kemajuan ilmu pengetahuan abad kesembilan belas dan abad kedua puluh.
Sepanjang millennium pertama itu, hanya empat orang yang ditampilkan. Setelah Zhang Heng, ilmuwan China yang lahir pada tahun 78 Masehi, lalu Ptolemy (90-168 Masehi), Galen dari Pergamum (130-201 Masehi), dan Al-Khwarizmi (800-850 Masehi). Balchin mengabaikan temuan-temuan penting Al-Razi dalam ilmu kimia, sumbangan mendasar al-Haytham (965–1040), yang di dunia Barat disebut sebagai Alhazen, dalam ilmu optika dan matematika, ataupun kontribusi Ibn Sina (Avicenna) dalam ilmu kedokteran yang mewarnai perkembangan ilmu kedokteran di dunia Barat selama beberapa abad. Balchin juga tidak memberi tempat pada nama-nama lain, seperti al-Biruni, yang pemikirannya mengenai metoda ilmu pengetahuan mendahului Francis Bacon dan Rene Descartes.
Membaca Quantum Leaps, saya merasa kehilangan tautan antara millennium pertama ke abad kelima belas. Dari Al-Khwarizmi di abad ke-9, Balchin langsung menuju masa ketika Eropa Barat tengah berusaha bangkit dari tidurnya dengan menampilkan Johannes Gutenberg, Leonardo da Vinci, dan Nicolas Copernicus. Balchin melompati periode penting ketika Barat tengah dalam kegelapan dan dunia Timur, terutama Islam (umpamanya Nasir al-Din al-Tusi), India (misalnya Madhava), dan China (antara lain Ch’in Chiu-shao), justru tengah benderang. Balchin tidak menjelaskan mengapa ada begitu panjang periode yang ia lompati–apakah ini yang ia maksudkan dengan ‘lompatan kuantum’ pada judul bukunya?.

Sumber : TEMPO.interaktif

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Karena Tweet, Pianis Turki Terancam Dibui

TEMPO.CO , Istanbul: Kicauanmu harimaumu jatuh ke seorang pianis asal Turki. Pria bernama Fazil Say terancam dipenjara karena menulis kicauan yang berpotensi menebar kebencian, beraroma permusuhan, dan menghina Islam.

Menurut MediaBistro, Sabtu, 2 Juni 2012, Say dinilai telah melecehkan nilai Surga dalam agama Islam melalui kicauannya pada April lalu. Akibatnya kini pianis terkenal itu terancam hukuman satu setengah tahun di penjara.

Cericit yang dipermasalahkan Pengadilan Turki adalah pernyataan yang berbunyi : "Bagaimana jika raki (minuman tradisional beralkohol yang mengandung cairan Anise) ada di surga, tapi tidak di negara. Sementara Chivas Regal (Scotch) tersedia di neraka, tapi tidak di surga? Apa yang akan terjadi, ini adalah pertanyaan penting."

Say kemudian menulis lagi kicauan yang menantang. Ia mempertanyakan apakah surga seperti "rumah bordil" seperti disebut dalam kitab suci. Jika tidak demikian, Aku tidak akan mempercayainya."

Menurut Say, tuduhan pelecehan itu bukan soal kicauan belaka. Melainkan karena ia memilih menjadi seorang ateis. "Ketika aku berkata aku adalah seorang ateis, semua orang menghinaku dan bahkan aparat mengawasi apa yang kutulis di Twitter," katanya.

Say mengatakan, "Aku adalah orang pertama di dunia yang menjadi obyek pengadilan karena menyatakan diri sebagai seorang ateis." Akibat tekanan yang diterima di Turki, Say berencana pindah ke Cina.

by NabiL Nabiila
Leave a comment

Pengawal BBC Akui Bakar Mayat Bayi di Aceh

TEMPO.CO, London-- Mantan pengawal BBC, Craig Summers, 52 tahun, mengaku telah membakar mayat bayi laki-laki berusia 1-2 bulan di tengah tumpukan sampah tak jauh dari rumah yang disewa kru BBC selama meliput pasca-gempa dan tsunami di Aceh.
Summers mengungkapkan pembakaran mayat bayi itu dalam buku terbarunya bertajuk Bodyguard: My Life On the Frontline.
»Saat itu kami merasa itu hal termudah dan paling manusiawi yang dilakukan. Ada seperempat juta orang tewas di sana dan mayoritas tergeletak di dalam galian tanah yang terbuka,” kata Summers kepada The Mail Ahad 3 Juni 2012.
Hanya satu alasan, kata mantan komandan pasukan Inggris di Falkland dan Balkan itu, yakni mencegah kru BBC terkena penyakit.
Munculnya tulisan tentang pembakaran mayat bayi dalam buku Summers membuat BBC tak nyaman. Kepala pemberitaan BCC, Fran Unsworth, serta kepala keamanan yang juga bekas perwira angkatan bersenjata Inggris, Paul Greeves, dikabarkan berupaya merayu Summers untuk tidak menerbitkan buku biografinya itu.
Summers menuturkan, peristiwa tersebut berawal saat ia bangun saat subuh pada 7 Januari 2005. Ketika pintu dibuka, ia kaget melihat mayat seorang bayi laki-laki diletakkan di tangga pintu masuk.
Bukannya melaporkan peristiwa itu ke aparat setempat, Summers memilih meletakkan bayi itu ke tempat sampah. Kemudian ia berbalik untuk membawa kotak dari kayu dan membakar bayi itu.
Ada dua orang yang menyaksikan aksi Summers tersebut, yakni perawat asal Australia yang disapa Bob yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kru BBC serta produser BBC, Peter Leng. Namun jurnalis BBC, Ben Brown, tidak diketahui secara pasti apakah menyaksikan hal itu.
»Saya bangga terhadap diri saya dengan pekerjaan saya,” kata Summers, yang sekarang menjabat kepala keamanan Sky TV, dalam bukunya.
Leng dan Brown menolak mengomentari buku Summers. »Tidak ada yang kami sampaikan. Kami tidak membahas pembicaraan pribadi. Namun para menajer terkadang berbicara dengan staf, atau mantan staf, yang menulis buku tentang BBC, khususnya jika di sana ada isu hukum atau keamanan,” kata juru bicara BBC.

by NabiL Nabiila
Leave a comment