Demokrasi pada masa kekuasaan Hosni Mubarak tidak mendapat tempat.
Masyarakat Mesir tidak ada yang berani menyampaikan perbedaan pendapat.
“Satu-satunya tempat paling demokratis adalah toilet umum,” kata Qaris
Tadjudin, wartawan Tempo yang meliput di Mesir, dalam diskusi yang
digelar @indonesiana soal ‘Revolusi Media Sosial’ di @atamerica, Pacific Place, Jakarta, Rabu (16/2).
Selama Mubarak berkuasa, kata Qaris, masyarakat tidak ada yang berani
menyatakan pendapatnya. Mereka yang tidak mendukung pemerintah, lebih
memilih diam dari pada bersuara. Namun, situasi berubah ketika mulai ada
media sosial twitter dan Facebook. Terutama menjelang gerakan
demonstrasi besar-besaran berlangsung.
Diskusi mulai dilakukan di jejaring sosial, termasuk diskusi untuk
membuat gerakan tanggal 25 Januari lalu, yang menjadi awal gerakan turun
ke jalan menyerukan agar Mubarak turun. Di laman jejaring sosial,
mereka tak lagi merasa takut menyuarakan pendapat, termasuk menyusun
gerakan.
“Tidak ada pertemuan. Semua diputuskan di Facebook,” ungkap Qaris,
yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir. Gerakan
itu tidak ada yang mengorganisir, tidak ada pemimpinnya. Diskusi di
jejaring sosial itu dipersatukan oleh hastag (#).
Dalam kesempatan yang sama, pengamat media sosial Enda Nasution,
menambahkan, gerakan di Mesir berawal dari diskusi di Facebook mengenai
kematian Khaled Mohamed Saeed. Halaman itu dibuat oleh seorang karyawan
Google, Wael Ghonim. “Akun itu menjadi embrio gerakan,” katanya.
Berikut ini beberapa catatan twitter tentang acara tersebut:
@qarist: Walau media sosial dianggap berperan dlm aksi demo, tak banyak pengguna Blackberry di Mesir.” | @indonesiana
@enda: Media sosial, terlepas perdebatan di luar, menjadi pendukung revolusi di Mesir.” | #indonesiana
@enda: ketika internet down, maka alarm menyala di netizen bahwa
ada sesuatu yg salah di Mesir, dan semua fokus kesana.” | #indonesiana
@ndorokakung: kenapa tekanan revolusi semakin menjadi-jadi ketika internet di blokir?” | #indonesiana
@qarist: Media sosial tak lagi menjadi pendorong utama revolusi,
ketika demonstrans mulai bertemu di Tahrir Square.” | #indonesiana
@qarist: Selain media sosial, media lain yang mendorong adalah adanya siaran Al Jazeera via parabola.” | #indonesiana
@qarist: Revolusi di Mesir tak akan terjadi hanya ketika
teriak-teriak di internet. Tapi ttp dibutuhkan aksi nyata di Tahrir.”
#indonesiana
Aqida Swamurti
Slide
Demokrasi Mesir, Dari Toilet ke Twitter Dan Facebook

Senin, 04 Juni 2012
by NabiL Nabiila
Leave a comment